PENGARUH MEA TERHADAP
PERPAJAKAN DI INDONESIA
I.
PEDAHULUAN
Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) atau dalam bahasa Inggris ASEAN Economic Community (AEC) telah
direncanakan untuk dilaksanakan sejak satu dekade yang lalu pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur pada Desember 1997.
Dimana pertemuan puncak antara pemimpin – pemimpin negara anggota ASEAN dalam
hubungannya terhadap pengembangan ekonomi dan budaya antar negara – negara di
Asia Tenggara. MEA memiliki sisi positif dan negatif bagi Indonesia. Sisi
positifnya adalah dengan bebasnya arus barang dan jasa di negara anggota ASEAN
akan memperluas pemasaran barang dan jasa dari Indonesia ke negara ASEAN
lainnya sehingga dapat meningkatkan perekonomian di Indonesia. Sisi negatifnya
dari MEA bagi Indonesia adalah konsekuensi penghapusan tarif dan non tarif
diantara anggota ASEAN yang berpotensi menurunkan penerimaan pajak. Jenis pajak
yang beresiko turun adalah pajak penghasilan (Pph) pasal 22 impor, pajak
pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBm) impor.
Pajak merupakan perikatan yang timbul
karena Undang – Undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat – syarat
yang ditentukan oleh Undang – Undang untuk membayar sejumlah uang kepada negara
yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatan suatu imbalan secara langsung dan dapat
ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran negara. Pajak pada umumnya, merupakan sumber dana yang
sangat strategis untuk membiayai kegiatan pembangunan. Demikian pula halnya
dengan Indonesia, penerimaan pajak dimaksud sangat penting bagi pemerintah
karena merupakan sumber keuangan negara yang utama. Selain itu, apabila
pengusaha tidak bisa bersaing dengan produk dari negara ASEAN lain, penerimaan
PPN dalam negeri dan Pph pasal 25/29 juga berpotensi turun akibat menurunnya
omset yang didapat oleh perusahaan. Serbuan Tenaga
Kerja Asing (TKA) ke Indonesia sulit dihindari, pasar tenaga kerja di
Indonesia akan semakin diisi dengan angka pengangguran.
Pemerintah harus membuat kebijakan yang
responsif terhadap MEA sekaligus berupaya melindungi tenaga kerja di dalam
negeri. Salah satu kebijakan yang mungkin
bisa diterapkan oleh pemerintah adalah penerapan pajak bagi TKA.
Pemerintah memiliki otoritas untuk memberlakukan pajak tinggi terhadap TKA yang
ada di Indonesia. Hal demikian sudah dilakukan oleh beberapa negara untuk
melindungi tenaga kerja dalam negeri, seperti Australia yang menerapkan pajak
sebesar 45 persen dari penghasilan TKA. Pemerintah Indonesia bisa menggunakan
mekanisme seperti itu. Jadi, orang – orang asing yang ingin bekerja di
Indonesia akan berfikir kembali dengan pajak yang diterima dari penghasilan TKA
tersebut. Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima
atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang
diluar negeri dapat dikredit kan terhadap pajak yang terutang di Indonesia
tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang –
Undang ini.
II.
ISI
Setiap negara mempunyai Undang – Undang
perpajakan sendiri yang fungsinya antara lain, adalah budgetair, artinya untuk menghimpun penerimaan negara dari
masyarakat sebagai dana untuk membiayai pembangunan dan keperluan rutin. Selain
itu, pajak juga memiliki fungsi mengatur,
artinya untuk mendorong kemajuan ekonomi, melalui daya tarik yang lebih besar
untuk investasi dan tabungan.
Dari segi kekuatan modalnya, negara –
negara di dunia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu “capital exporting countries” dan “capital importing countries”.
Yang disebut “capital exporting countries” adalah negara – negara yang sudah
maju sehingga membutuhkan pasar lain sebagai tempat ekspansi bagi modal yang
dimilikinya. Sebaliknya “capital
importing countries” adalah negara – negara yang kekurangan modal untuk
mendorong kegiatan ekonominya, sehingga perlu mengimpor modal sebagai pendorong
usahanya. Sistem perpajakan yang berbeda antar dua kelompok tersebut artinya,
sistem perpajakan berlainan yang akan meyebab kan terjadinya pengenaan pajak
ganda terhadap penghasilan yang sama milik orang atau badan yang sama. Keadaan
ini menyebabkan keinginan untuk melakukan investasi di luar negeri akan
terhambat. Jika masing – masing negara menerapkan Undang – Undang pajak
nasional, tanpa ada usaha untuk mengurangi resiko terjadinya pengenaan pajak
ganda, maka setiap kali terjadi arus pemasukan modal dari suatu negara ke
negara lainnya, akan timbul bantuan – bantuan antara dua pajak yang berbeda.
Dengan demikian jelaslah bahwa masih ada
upaya lain untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis berkepanjangan antara lain
dengan memperhatikan perpajakan atas penghasilan dari usaha di Indonesia yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri, karena bila dicermati oleh
para pejabat Direktorat Jenderal Pajak hal ini akan memberikan potensi yang
cukup besar bagi keuangan negara. Namun, agar pendapat tadi bisa diterima oleh
negara lainnya, jadi tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja.
Semakin bertambah luas dan majunya
hubungan ekonomi internasinal, semakin perlunya diadakan suatu pajak dari
negara –negara yang bersangkutan. Dengan adanya pajak ini maka hak perpajakan
masing – masing negara yang terlibat diatur dengan tegas, sehingga kemungkinan
terjadinya pengenaan pajak ganda semakin kecil. Pajak yang berbeda ini biasanya
disebut Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B). Wajib Pajak Luar Negeri dapat dikenakan pajak di Indonesia
bila Wajib Pajak Luar Negeri mempunyai Bentuk
Usaha Tetap (BUT), artinya bila Wajib Pajak Luar Negeri berusaha di
Indonesia sebagai negara sumber source
country melalui suatu BUT maka dapat dikenakan pajak di Indonesia.
Seorang akan dikenakan pajak di negara
dimana ia berdomisili. Negara yang menganut pengenaan pajak domisili biasanya
menganut prinsip “world wide income”,
artinya mereka yang berdomisili di negara tersebut akan dikenai pajak atas
seluruh penghasilan yang bersumber di berbagai negara. Seorang subjek pajak
akan dianggap sebagai penduduk dalam
negeri apabila memenuhi syarat – syarat tertentu. Syarat – syarat ini tergantung
pada Undang – Undang domestik masing – masing negara yaitu Undang – Undang
nomor 17 tahun 2000 yang disebut sebagai Undang – Undang pajak penghasilan,
yang memberikan definisi Subjek Pajak Luar Negeri dalam pasal 2 ayat (4) .
Subjek
Pajak Luar Negeri adalah :
“Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.”
Padahal banyak perusahaan Jepang yang
melakukan pemberian jasa dalam rangka kerjasama teknik dan ekonomi, sehingga
dengan demikian banyak perusahaan jasa yang tidak dapat dikenakan pajak karena
dianggap tidak mempunyai BUT. Indoneisa – Jepang yang menentukan hak Indonesia
sebagai negara sumber untuk memungut pajak atas laba perusahaan Jepang di
Indonesia yang paling terbatas, yaitu hanya penghasilan yang benar – benar didapat
oleh BUT perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Jadi kalau petugas pajak di
Indonesia tidak dapat membuktikan bahwa suatu laba perusahaan yang diperoleh di
Indonesia melalui kegiatan BUT di Indonesia, misalnya laba tersebut dinyatakan
perusahaan Jepang yang bersangkutan, bahwa laba tersebut diperoleh dari
penjualan barang langsung oleh perusahaan Jepang tersebut, maka laba perusahaan
Jepang tidak boleh dikenakan pajak di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam
pasal 7 ayat (1) yang disebut sebagai Attributable
Rule.
Ayat (2) mengatakan jika suatu
perusahaan dari suatu negara menjalankan usaha di negara lainnya suatu BUT,
maka yang akan diperhitungkan sebagai laba suatu BUT adalah laba yang diperoleh
perusahaan lain terpisah atau berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan –
kegiatan yang sama dan sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa dan
mengadakan hubungan dalam suasana sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang
memiliki BUT.
Ayat (3) mencakup juga ayat (4) dan (5)
yang menyebutkan bahwa pengurangan biaya yang diperoleh untuk menghitung laba
suatu BUT adalah biaya – biaya baik yang dikeluarkan di negara dimana BUT
berada di tempat lain. Hal ini menyebabkan perusahaan membuat taksiran tentang
berapa kira – kira biaya yang dialokasikan kepada BUT, misalnya berdasarkan
perbandingan antar omset dari BUT terhadap keseluruhan operasi perusahaan.
Berkaitan dengan pemenuhan kewajiban
perpajakan untuk keseluruhan penghasilan uang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan pengkreditan pajak yang telah dibayar di luar negeri,
dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 ditegaskan bahwa pajak
atas penghasilan dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak dalam negeri adalah pajak atas penghasilan
yang terutang atau dibayar di luar negeri.
Yang termasuk dengan pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri
adalah pajak atas penghasilan yang terkena dengan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak dalam negeri di luar negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak
di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya
di luar negeri misalnya : bunga, dividen, dan royalti.
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di
Indonesia. Tetapi hanya pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh :
PT. Tangkaltabu di Indonesia
merupakan pemegang saham tunggal Z Inc.
di negara X, Z Inc. tersebut pada tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100.000,00.
Pajak penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan pajak dividen adalah
38%. Perhitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut :
Keuntungan
Z Inc. US$
100.000,00

US$
52.000,00

Dividen
yang dikirim ke Indonesia US$ 32.240,00
Pajak
penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh pajak penghasilan yang terutang
atas PT. Tangkaltabu adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, yaitu sebesar US$ 19.760,00.
Pajak
penghasilan atas Z Inc. sebesar US$ 48.000,00 tidak dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan yang diterima atas PT. Tangkaltabu, karena pajak sebesar US$
48.000,00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima oleh
PT. Tangkaltabu dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas
keuntungan Z Inc. di negara X.
Apabila Wajib Pajak dalam negeri
mengalami kerugian di luar negeri, maka dalam menghitung penghasilan kena pajak
kerugian di luar negeri tersebut tidak boleh di kurangkan dari penghasilan yang
diterima atau di peroleh dari Indonesia.
Contoh perhitungan
pengkreditan pajak luar negeri
PT.
Indoprofit di Medan, dalam tahun pajak 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai
berikut :
a) Penghasilan usaha di dalam negeri Rp.
1.100.000.000,00.
b) Penghasilan (laba) di negara Jepang
sebesar Rp. 600.000.000,00. Misalnya, tarif pajak yang berlaku 30% sehingga
besar pajak yang dibayarkan adalah Rp. 180.000.000,00.
c) Penghasilan (laba) di negara Inggris
sebesar Rp. 400.000.000,00. Misalnya, tarif pajak yang berlaku 40% sehingga
besar pajak yang dibayarkan adalah Rp.
160.000.000,00.
d) Kerugian di negara Singapura sebesar Rp.
600.000.000,00.
Jawab
:
Penghasilan
neto di dalam negeri Rp.
1.100.000.000,00
Penghasilan
neto di luar negeri :
Laba
Jepang Rp.
600.000.000,00
Laba
Inggris Rp.
400.000.000,00

Jumlah
penghasilan dari luar negeri Rp.
1.000.000.000,00
Penghasilan
kena pajak Rp. 2.100.000.000,00
Pajak
penghasilan terutang berdasarkan tarif pajak pasal 17 Undang- Undang Pph adalah
:
10%
x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
15%
x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00

Rp. 612.500.000,00
Untuk Jepang :



2.100.000.000,00
Pajak yang terutang di Jepang
sebesar Rp. 180.000.000,00 tetapi jumlah yang dapat di kreditkan di Indonesia
adalah sebesar Rp. 175.000.000,00
Untuk Inggris :



2.100.000.000,00
Pajak yang terutang di Inggris
sebesar Rp. 160.000.000,00 tetapi jumlah yang dapat di kreditkan di Indonesia
adalah sebesar Rp. 116.666.666,00
Berdasarkan
perhitungan tersebut, maka besarnya pajak terutang yang dapat di kreditkan oleh
PT. Indoprofit di Medan terhadap kewajiban pajak nya di Indonesia adalah
sebesar Rp. 175.000.000,00 + Rp. 116.666.666,00 = Rp. 291.666.666,00.
Dengan demikian , maka besarnya pajak yang
harus dibayar di Indonesia adalah sebesar Rp. 612.500.000,00 – Rp.
291.666.666,00 = Rp. 320.833.334,00.
Mobil Oil adalah
perusahaan kontraktor minyak dan gas bumi yang terkenal dengan nama Production Sharing Contract yang mempunyai drilling fee di Indonesia.
Pada suatu waktu Mobil Oil menerima
drilling fee US$ 100juta. Beberapa tahun kemudian drilling fee itu dikembalikan
ke kantor pusatnya pada saat harga pengeboran tersebut US$ 125 juta. Apakah
keuntungan US$ 25 juta saat mengembalikan drilling fee ke kantor pusat boleh
dikenakan pajak di Indonesia atau tidak?
Hal ini ditegaskan dalam pasal 14 ayat (3) yaitu, Deemed Alienation jika BUT menyerahkan harta pada kepada kantor
pusatnya maka dianggap sebagai penjualan kepada kantor pusatnya tetapi tidak
dikenakan pajak baik sebagai capital
gains maupun business income.
Meskipun
demikian, sumber – sumber dana yang berasal dari luar negeri tersebut harus
dibatasi jumlahnya agar prinsip kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan
nasional tetap terjaga. Pembangunan ekonomi merupakan proses yang berlangsung
secara terus menerus, dan pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar untuk
membiayai pembangunan tersebut agar dapat terlaksana sesuai dengan tahap –
tahapnya. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa hasil dari pemungutan pajak
pada suatu periode belum mencukupi untuk membiayai kebutuhan pembangunan pada
periode tersebut. Karena peranan pajak yang sedemikian besar dalam pemerintah
negara, setiap pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan kekuatan Undang –
Undang pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945.
III.
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Bahwa pengaruh Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dalam perpajakan di Indonesia sangat
berpengaruh bagi keuangan di Indonesia untuk mensejahtera kan rakyat di
Indonesia. Sebab, apabila seorang Wajib Pajak Luar Negeri tidak membayar pajak
nya tetapi mempunyai Badan Usaha Tetap (BUT) berlokasikan di
Indonesia. Maka, Wajib Pajak Luar Negeri tersebut akan mendapatkan hukuman atau
sanksi yang sudah tertulis pada UUD 1945. Kemudian para petugas belum semuanya
mendalami tentang perpajakan Internasional. Sehingga mengakibatkan Wajib Pajak
Luar Negeri tidak membayar pajak yang sudah tertulis.
3.1
SARAN
Jadi,
bukan hanya untuk Wajib Pajak Luar Ngeri saja yang harus membayar pajak tetapi
warga negara itu sendiri juga harus membayar pajak. Karena, pajak itu dari
rakyat dan untuk rakyat. Demikian jika seluruh Wajib Pajak dan negeri dan Wajib
Pajak luar negeri membayar pajak maka, negara yang mereka tempati akan makmur
dan sejahtera dan tidak ada lagi kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di
negara tersebut. Semoga seluruh rakyat Indonesia maupun diluar Indonesia
diharapkan bisa membatu dan mewujudkan kehidupan ekonomi dan sosial yang layak.
REFERENSI
2. Achmad, Iman. 2001. Pajak Internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
3. Handaka, Sianita. 2001. Cangkupan Penghasilan dari usaha di
Indonesia yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
4. Barata, Atep Adya., H.M. Jajat
Djuhadiat. 2004. Pemotongan – Pemungutan
Pajak Penghasilan dan Kredit Pajak Luar Negeri. Jakarta: PT. Alex Media
Komputindo
Sihombing,