Selasa, 28 Maret 2017

Sejarah Ekonomi Indonesia

SEJARAH EKONOMI INDONESIA
                           Kelas                            : 1EB19
                   Kelompok                    :  7

Disusun Oleh :

Dena Juliarista                              (21216800)
Fitri Widia Wati                              (22216896)
Hani Mardiati                                  (23216186)
M. Rizky Ramadoni                       (24216201)
Tasman                                           (27216304)

UNIVERSITAS GUNADARMA
2017




MATERI


1.        Sejarah Pra Kolonialisme Ekonomi di Indonesia

Yang dimaksud dengan periode Pra-Kolonialisme adalah masa – masa berdirinya kerajaan – kerajaan di wilayah Nusantara (sekitar abad ke - 5) sampai sebelum masa masuknya penjajah yang secara sistematis menguasai kekuatan ekonomi dan politik di wilayah nusantara (sekitar abad ke - 15 sampai 17). Pada masa itu RI belum berdiri. Daerah - daerah umumnya dipimpin oleh kerajaan – kerajaan.
Indonesia terletak di posisi geografis antara benua Asia dan Eropa serta Samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang berlabuh.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau Impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan - kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
Dengan kata lain, sistem pemerintahan masih berbentuk feudal. Kegiatan utama perekonomian adalah:
1.    Pertanian, umumnya monokultura, misalnya padi di Jawa dan rempah–rempah di Maluku.
2.    Eksplorasi hasil alam, misalnya hasil laut, hasil tambang, dll.
3.    Perdagangan besar antarpulau dan antarbangsa yang sangat mengandalkan jalur laut.
Kerajaan-kerajaan besar yang pernah muncul dalam sejarah Indonesia diantaranya seperti Sriwijaya (abad ke-8), Majapahit (abad ke – 13 samapi 15) maupun Banten (abad ke – 17 sampai 18) merupakan kerajaan - kerajaan yang sangat menguasai tiga kegiatan ekonomi diatas.

2.        Sistem Monopoli VOC yang terjadi di Indonesia

A.        Terbentuknya VOC

Keberhasilan ekspedisi - ekspedisi Belanda dalam mengadakan perdagangan rempah-rempah mendorong pengusaha - pengusaha Belanda yang lainnya untuk berdagang ke Nusantara. Diantara mereka terjadi persaingan. Disamping itu mereka harus menghadapi persaingan dengan Portugis, Spanyol dan Inggris. Akibatnya mereka saling menderita kerugian, dan juga sering terjadinya perampokan - perampokan oleh bajak laut. Atas prakarsa dari 2 orang tokoh Belanda yaitu Pangeran Maurits dan Johan van Olden Barnevelt pada tahun 1602 kongsi - kongsi dagang Belanda dipersatukan menjadi sebuah kongsi dagang besar yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indesche Compagnie  atau Persekutuan Maskapai Perdagangan Hindia Timur),  pengurus pusat VOC terdiri dari 17 orang. Pada tahun 1602 VOC membuka kantor pertamanya di Banten yang dikepalai oleh Francois Witter.
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan - kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania - Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia - Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Pada abad ke - 17 dan 18 Hindia - Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan sistem monopoli terhadap perdagangan rempah - rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan - kepulauan penghasil rempah-rempah dan terhadap orang-orang non - Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau - pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak - budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

B.        Tujuan Dibentuknya VOC

Berikut merupakan beberapa tujuan dibentuknya VOC:
1.     Menghindari persaingan tidak sehat diantara sesama pedagang Belanda untuk keuntungan maksimal.
2.     Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan, baik dengan bangsa - bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa - bangsa Asia.
3.     Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol.

C.        Hak - hak Istimewa VOC

Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan leluasa VOC diberi hak-hak istimewa atau Hak Oktroi oleh pemerintah Belanda :
1.     Memonopoli perdagangan.
2.     Mencetak dan mengedarkan uang.
3.     Mengangkat dan memberhentikan pegawai.
4.     Mengadakan perjanjian dengan raja-raja.
5.     Memiliki tentara untuk mempertahankan diri.
6.     Mendirikan benteng.
7.     Menyatakan perang dan damai.
8.     Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
9.     Politik Perdagangan Dan Kebijakan Pemerintahan VOC.
Peraturan - peraturan yang ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :
a.     Verplichte Laverantie : Yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga  yang telah ditetapkan oleh VOC dan melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.
b.     Contingenten : Yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar  pajak berupa hasil bumi. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah  tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam.
c.      Ekstirpasi : Yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah - rempah agar tidak terjadi over produksi yg dapat menyebabkan harga rempah - rempah merosot.
d.     Pelayaran Hongi : Yaitu pelayaran dengan perahu kora - kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.
Beberapa gubernur jendral VOC yang dianggap berhasil dalam mengembangkan usaha dagang dan kolonisasi VOC di Nusantara antara lain :
1.     Jan Pieterzoon Coen (1619 - 1629)
Dikenal sebagai peletak dasar imperialisme Belanda di Nusantara. Ia dikenal pula dengan rencana kolonisasinya dengan memindahkan orang - orang Belanda bersama keluarganya ke Indonesia.
2.     Antonio Van Diemen (1636 - 1645)
Ia berhasil memperluas kekuasaan VOC ke Malaka pada tahun 1641. Ia juga mengirimkan misi pelayaran yang  dipimpin Abel Tasman ke Australia, Tasmania, Selandia baru.
3.     Joan Maetsycker  (1653 - 1678)
Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan VOC ke Semarang Padang dan Menado.
4.     Cornelis Speeldman (1681 - 1684)
Ia menghadapi perlawanan didaerah dan tidak berhasil mengalahkan Sultan Agung Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa.

D.        Sistem Birokrasi VOC

Untuk memerintah wilayah - wilayah di Nusantara VOC mengangkat seorang gubernur jendral  yang dibantu oleh empat orang yang disebut Raad van Indie (dewan India).
Dibawah gubernur jendral diangkat beberapa gubernur yang memimpin suatu daerah. Dibawah gubernur terdapat beberapa Residen yang dibantu oleh Asisten Residen. Pemerintahan dibawahnya lagi diserahkan pada pemerintahan tradisional, seperti Raja dan Bupati. VOC menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung (Indirect rule) dengan memanfaatkan sistem Feodalisme.

E.        Kemunduran VOC

Kemunduran dan kebangkrutan VOC terjadi sejak awal abad ke – 18, disebabkan oleh :
1.     Banyak korupsi yang dilakukan oleh pegawai - pegawai VOC.
2.     Anggaran pegawai terlalu besar maka mengakibatkan semakin luasnya wilayah kekuasaan VOC.
3.     Biaya perang untuk memadamkan perlawanan rakyat terlalu besar.
4.     Persaingan dengan kongsi dagang negara lain, misalnya dengan EIC milik Inggris.
5.     Hutang VOC yang sangat besar.
6.     Pemberian deviden kepada pemegang saham walaupun usahanya mengalami kemunduran
7.     Berkembangnya paham Liberalisme sehingga monopoli perdagangan yang diterapkan VOC tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
8.     Kendudukan Perancis terhadap negara Belanda pada tahun 1795.

F.        VOC Dibubarkan

Pada tahun 1795 dibentuk panitia pembubaran VOC dan hak - hak istimewa VOC dihapus. Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Selanjutnya semua hutang dan kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda.

3.        Sistem Tanam Paksa yang Terjadi di Indonesia Beserta Tahun Terjadinya

A.        Sistem Tanam Paksa

Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel), merupakan peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku dipasar ekspor, khususnya tebu, tarum (nila) dan kopi. Hasil tanaman ini nantinya harus dijual kepada pemerintah belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Sedangkan Penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja selama 75 hari setiap tahun (20% dari 365 Hari) pada perkebunan milik pemerintah belanda, hal tersebut menjadi semacam pengganti pajak bagi rakyat.
Namun pada kenyataannya peraturan Sistem Tanam Paksa  (Tanam Paksa) bisa dikatakan tidak sesuai karena pada prakteknya seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman yang laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Kolonial. Tanah yang digunakan untuk praktik Tanam Paksa pun masih dikenakan pajak (seharusnya bebas pajak). Sedang Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bekerja selama setahun penuh (seharusnya hanya 75 hari) di lahan pertanian Belanda.
Pada tahun 1830 saat pemerintah belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro (1825-1830), kemudian Gubernur Jenderal Judo mendapat izin untuk menjalankan Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) dengan tujuan utama untuk menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan dan mengisi kas pemerintahan jajahan yang saat itu kosong.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari kebrangkrutan, kemudian Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang. Untuk menjalankan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch memfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Awal adanya Sistem tanam paksa karena pemerintah kolonial beranggapan bahwa desa desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya diperhitungkan (membayar) senilai 40% dari hasil panen utama desa. kemudian Van den Bosch menginginkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk kemudian di wajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya (minimal 20% atau seperlima luas) dan menyisihkan sebagian hari kerja (75 hari dalam setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan menjalankan tanam paksa, Pemerintah Kolonial beranggapan desa akan mampu melunasi hutang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat kelebihannya. namun Jika kurang, desa harus membayar kekurangannya.
Oleh karena itu, Van den Bosch mengerahkan rakyat jajahannya untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di pasaran ekspor. Berikut Sistem yang disusun Van den Bosch Setibanya di Indonesia (1830).
1)     Sistem tanam bebas harus dirubah menjadi tanam wajib dengan jenis tanaman yang telah ditentukan oleh pemerintah.
2)     Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya sedikit serta pelaksanaannya yang sulit.
3)     Pajak terhadap tanah harus dibayar dengan menyerahkan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah kolonial.
Tanam paksa sendiri diterapkan secara perlahan mulai tahun 1830 sampai 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa.
Bagi pemerintah kolonial (Belanda), Sistem Tanam Paksa menuai sukses besar. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya dapat membangun sendiri, tapi punya hasil (laba) bersih 823 juta golden untuk kas yang dikirim ke Kerajaan Belanda.
Umumnya 30% anggaran belanja Kerajaan Belanda berasal dari kiriman Batavia. Bahkan Pada tahun 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda didapat dari Oost Indische (Hindia Belanda). Pada saat itu Batavia menjadi sumber modal Kerajaan Belanda untuk membiayaai proyek-proyeknya. Misalnya, untuk membiayai kereta api di Belanda yang saat itu serba mewah.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus pada tahun 1870 setelah memperoleh protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, meskipun pada kenyataannya Sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di luar Jawa masih berjalan hingga tahun 1915. Program tersebut (Sistem Tanam Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

B.        Dampak dan Akibat Sistem Tanam Paksa

Dampak dan Akibat Tanam Paksa - Pelaksanaan tanam paksa banyak menyimpang dari aturan sebenarnya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, Tanam Paksa menimbulkan akibat yang bertolak belakang bagi Bangsa Indonesia dan Belanda, diantaranya adalah sebagai berikut.
1)     Dampak Bagi Indonesia
a.    Beban rakyat menjadi sangat berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, mengikuti kerja rodi serta membayar pajak.
b.    Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
c.    Timbulnya wabah penyakit dan terjadi banyak kelaparan di mana-mana.
d.    Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e.    Rakyat Indonesia mengenal tanaman dengan kualitas ekspor.
f.     Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam berbagai jenis tanaman baru.
2)     Dampak Bagi Belanda
a.    Kas Negeri Belanda yang semula kosong menjadi dapat terpenuhi.
b.    Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja (Surplus).
c.    Hutang-hutang Belanda terlunasi.
d.    Perdagangan berkembang pesat.
e.    Amsterdam sukses dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.

C.        Akhir Sistem Tanam Paksa

Tanam paksa yang berakibat banyak hal negative bagi bangsa Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun Indonesia, seperti Eduard Dowes Dekker dan Baron Van Hoevel.

     `              I.        Eduard Douwes Dekker
      Merupakan seorang pejabat Belanda yang pernah menjabat sebagai Asisten Residen Lebak (Banten). Douwes Dekker cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang sengsara karena tanam paksa. Menggunakan nama samaran Multatuli yang memiliki arti “aku telah banyak menderita”, ia menulis buku berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menceritakan kesengsaraan rakyat indonesia akibat Sistem Tanam Paksa.

                     II.        Baron Van Hoevel
            Merupakan seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Bali, Madura dan Jawa. Ia banyak melihat kesengsaraan rakyat akibat adanya Cultuurstelsel. Setelah pulang ke Belanda dan terpilih menjadi anggota parlemen, ia sering melakukan protes terhadap pelaksanaan tanam paksa, ia gigih dalam berjuang menuntut dihapusnya tanam paksa.
Akibat adanya protes tersebut, pemerintah Belanda secara bertahap menghapuskan Tanam Paksa. Pada tahun 1865 Kayu Manis, Teh dan Nila dihapuskan, Pada tahun 1866 tembakau, kemudian tebu pada tahun 1884. Sedangkan kopi merupakan tanaman yang paling akhir dihapus, yaitu pada tahun 1917 karena kopi paling banyak memberi keuntungan.

4.        Sistem Ekonomi Kapitalisme Liberal dan Tujuannya

A.        Terbentuknya Sistem Ekonomi Kapitalisme Liberal

Pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan negara juga akan bertambah banyak.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 dan 1900 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Selama masa ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan - perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya orang-orang bukan pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Berikut merupakan isi pokok Undang-Undang Agraria tahun 1870:
1)     Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha  swasta, serta
2)     Pengusaha   dapat   menyewa   tanah   dari   gubernemen   dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1)     Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia
2)     Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang - Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari Undang - Undang Gula yaitu:

1)     Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap.
2)     Pada   tahun   1891   semua   perusahaan   gula   milik   pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun usaha pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia :
1)     Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2)     Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3)     Perkebunan kina di Jawa Barat.
4)     Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5)     Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6)     Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

B.        Tujuan Sistem Kapitalisme Liberal (Politik Pintu Terbuka)

Sistem Kapitalisme Liberal dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Tujuan sistem politik ekonomi liberal di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1)     Mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industry di Eropa.
2)     Mendapatkan tenaga kerja yang murah.
3)     Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
4)     Menjadi tempat penanaman modal asing.

C.        Dampak Sistem Kapitalisme Liberal (Politik Pintu Terbuka)

Politik Pintu Terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin. Berikut merupakan dampak yang ditimbulkan oleh Politik Pintu Terbuka (Kapitalisme Liberal) bagi rakyat yaitu:
1)     Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2)     Rakyat menderita dan miskin.
3)     Rakyat   mengenal   sistem   upah   dengan   uang,   juga   mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4)     Timbul   pedagang   perantara.   Pedagang-pedagang   tersebut pergi ke   daerah   pedalaman,   mengumpulkan   hasil   pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5)     Industri   atau   usaha   pribumi   mati   karena   pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat  besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh karena itu, Van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan Politik Etis atau Politik Balas Budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan Van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer.  Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1)     Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
2)     Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
3)     Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padatpenduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:
1)     Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2)     Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah Pendidikan yang   dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai   negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3)     Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah - daerah yang di kembangkan perkebunan - perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari sebelumnya. Meskipun produksi untuk ekspor meningkat dengan pesat antara tahun 1870-1900, namun pada akhir abad 19 mulai nampak bahwa orang-orang Indonesia di pulau Jawa telah mengalami kemerosotan dalam taraf hidup mereka.

5.        Sejarah Era Pendudukan Jepang Yang Pernah Terjadi di Indonesia

A.        Masuknya Jepang Ke Indonesia

Jepang merupakan salah satu negara yang pernah menjajah bangsa Indonesia. adapun masa kependudukan Jepang di Indonesia ada antara tahun 1942 hingga tahun 1945. Kedatangan negara Jepang ke Indonesia bermula pada tanggal 1 Maret 1942. Pada waktu itu, negara Jepang telah sukses mendaratkan tentara- tentaranya di pulau jawa dengan tiga titik , yaitu di Teluk Banten, Eretan Wetan atau Jawa Barat dan Kranggan (Jawa Tengah).
Kedatangan Jepang di Indonesia tersebut berakibat pada suhu politik yang ada pada saat itu. Bahkan pemerintahan Belanda yang pada waktu itu masih berkuasa di Indonesia segera menyerah tanpa syarat kepada Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Serah terima kekuasaan Belanda kepada pemerintahan Jepang tersebut kemudian diadakan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati.
Dengan berakhirnya serah terima tersebut, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan akan dimulainya kekuasaan baru yang dipimpin oleh pemerintahan Jepang. Ketika pertama kali Jepang berkuasa di Indonesia, kemudian ia membentuk Indonesia menjadi tiga wilayah komando. Adapun ketiga wilayah komando tersebut yaitu meliputi tentara ke – 16 di Pulau Jawa dan Madura yang berpusat di wilayah Batavia , Tentara ke – 25 di Sumatera yang berpusat di Bukit Tinggi dan yang terakhir yaitu armada selatan ke -2 terdapat di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara , dan Papua Barat yang berpusat di kota Makassar.
Pada saat orang Jepang datang ke Indonesia , mereka disambut dengan sangat baik oleh masyarakat Indonesia (orang- orang Jawa). Hal tersebut dikarenakan masyarakat pada saat itu menganggap bahwa kedatangan tentara Jepang ke Indonesia telah sesuai dengan ramalan Joyoboyo. Oleh karena sikap rakyat yang baik dan bersahabat tersebut telah memudahkan orang- orang Jepang dalam mendirikan pemerintahan militernya. Sikap rakyat Indonesia kapada orang – orang Jepang seperti tersebut disebabkan rakyat Indonesia tidak menyadari bahwasannya mereka telah mendapatkan propaganda dari pihak Jepang.
Pihak Jepang mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia karena pihak Jepang telah melakukan berbagai macam upaya untuk mendapatkan hati rakyat Indonesia (khususnya rakyat Jawa). Adapun contoh upaya- upaya yang telah dilakukan Jepang untuk mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia yaitu dengan mendirikan Gerakan Tiga A (3A) dengan slogannya yaitu Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Saudara Asia. Kemudian, Jepang pun mengangkat orang- orang pribumi untuk menduduki di berbagai kursi pemerintahan dengan menghapuskan prinsip turun temurun dan yang terakhir yaitu Jepang menetapkan wilayah- wilayah Voorstenlanden sebagai daerah istimewa (Kochi).
Adapun tujuan Jepang melakukan propaganda tersebut adalah untuk membuat masyarakat pribumi Indonesia menerima didirikannya pemerintahan militer, untuk mengarahkan kebijakan- kebijakan pemerintah militer agar dapat menghapuskan pengaruh- pengaruh barat di kalangan rakyat Jawa dan memobilisasi rakyat Jawa agar Jepang mendapatkan kemenangan ketika melakukan perang Asia Timur Raya.

B.        Keadaan Ekonomi Rakyat Saat Pendudukan Jepang

Pada jaman pendudukan Jepang kehidupan ekonomi rakyat sangat menderita. Lemahnya ekonomi rakyat berawal dari sistem bumi hangus Hindia Belanda ketika mengalami kekalahan dari Jepang pada bulan Maret 1942. Sejak itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang dilakukan Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat-alat transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang menyita seluruh kekayaan musuh dan dijadikan hak milik Jepang, seperti perkebunan - perkebunan, bank - bank, pabrik - pabrik, perusahaan - perusahaan, telekomunikasi dan lainlain. Hal ini dilakukan karena pasukan Jepang dalam melakukan serangan ke luar negaranya tidak membawa perbekalan makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang diprioritaskan untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi kepentingan perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana tanaman jarak untuk pelumas.
Pola ekonomi perang yang dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap lingkungan daerah harus melaksanakan autarki (berdiri di atas kaki sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17 lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu (daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian daripada “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” yang mempunyai dua tugas, yakni:
a.     Memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan
b.     Mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
Seluruh kekayaan alam Indonesia dimanfaatkan Jepang untuk biaya perang. Bahan makanan dihimpun dari rakyat untuk persediaan prajurit Jepang seharihari, bahkan juga untuk keperluan perang jangka panjang.

C.        Romusha

Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-benyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat melalui sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha.
Romusha (buruh, pekerja) adalah panggilan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti semacam “serdadu kerja”, yang secara harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagi buruh kasar. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara seperti Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Serawak. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha diperkirakan mencapai 4-10 juta orang.
Tenaga romusha diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukannya dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerahan (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Waktu itu setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk berangkat menjadi romusha. Namun bagi golongan masyarakat kaya seperti pedagang, pejabat, orang-orang Cina dapat menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga atau dengan membayar kawan sekampung yang miskin untuk menggantikannya sehingga terhindar dari kewajiban untuk menjadi romusha.
Mula-mula tugas yang dilakukan bersifat sukarela dan tidak begitu jauh dari tempat tinggal penduduk, namun lama-kelamaan pengerahan tenaga kerja berubah menjadi paksaan. Di tempat-tempat mereka bekerja, mereka diperlakukan secara kasar. Kesehatan tidak dijamin, makanan tidak cukup, serta pekerjaan yang sangat berat. Bahkan, untuk pakaian para romusha hanya menggenakan celana dari karung goni untuk menutupi auratnya. Bahan karung goni sendiri merupakan bahan yang tidak nyaman dikenakan dan menjadi sarang kutu. Dengan keadaan yang sedemikian rupa tentu saja menjadi sarang bagi penyakit, sehingga banyak diantara romusha yang meninggal ditempat kerjanya karena sakit, kekurangan makan serta kecapaian ataupun kecelakaan. Berita buruk ini kemudian tersebar dan menjadi rahasia umum, sehingga banyak orang yang takut menjadi romusha.
Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru, yang mengatakan bahwa romusha adalah “prajurit ekonomi” atau “pahlawan pekerja”. Penggunaan kata “kuli” bagi romusha dianggap menghina dan merendahkan derajat “prajurit ekonomi” ini. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit.
Pengerahan romusha tidak lain karena motivasi Jepang memenangkan perang. Motivasi Jepang ekspansi ke selatan adalah faktor ekonomi terutama Sumber Daya Alam. Beberapa tindakan Jepang dalam memeras sumber daya alam dengan cara-cara berikut ini :
1.    Petani wajib menyetorkan hasil panen berupa padi dan jagung untuk keperluan konsumsi militer Jepang. Hal ini mengakibatkan rakyat menderita kelaparan.
2.    Penebangan hutan secara besar-besaran untuk keperluan industri alat-alat perang, misalnya kayu jati untuk membuat tangkai senjata. Pemusnahan hutan ini mengakibatkan banjir dan erosi yang sangat merugikan para petani. Di samping itu erosi dapat mengurangi kesuburan tanah.
3.    Perkebunan-perkebunan yang tidak ada kaitannya dengan keperluan perang dimusnahkan, misalnya perkebunan tembakau di Sumatera. Selanjutnya petani diwajibkan menanam pohon jarak karena biji jarak dijadikan minyak pelumas mesin pesawat terbang. Akibatnya petani kehilangan lahan pertanian dan kehilangan waktu mengerjakan sawah. Sedangkan untuk perkebunan-perkebunan kina, tebu, dan karet tidak dimusnahkan karena tanaman ini bermanfaat untuk kepentingan perang.
4.     Penyerahan ternak sapi, kerbau dan lain-lain bagi pemilik ternak. Kemudian ternak dipotong secara besar-besaran untuk keperluan konsumsi tentara Jepang. Hal ini mengakibatkan hewan-hewan berkurang padahal diperlukan untuk pertanian, yakni untuk membajak.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Jepang tidak memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup guna menghadapi perang jangka panjang melawan sekutu. Sedangkan tujuan utama Jepang pasca pendudukan adalah menyusun kembali rencana-rencana ekonomi bagi dominasi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara, dan menggairahkan kembali perekonomian Indonesia guna men Dampak Romusha Bagi Bangsa Indonesia
Romusha memberikan akibat yang mendalam bagi bangsa indonesia meskipun Jepang menjajah Indonesia hanya seumur jagung apa yang dikatakan oleh ramalan Joyoboyo, atau lebih tepatnya 3 ½ tahun jepang menjajah indonesia yaitu pada tahun 1942-1945 tetapi dalam waktu yang sesingkat itu memumbuhkan dampak yang sangat mendalam bagi bangsa indonesia karena pada waktu itu sangat menderita dengan adanya romusha rakyat indonesia hidup bagaikan tulang tanpa daging pakaian compang-camping kelaparan dimana-mana atau rakyat indonesia dibawah titik nadir masyarakat yang terbelakang, miskin, teringgal untuk lebih khusus lagi akan dipaparkan dampak dari Romusha sebagai berikut:
1.     Bidang Ekonomi
Keadaan ekonomi di Indonesia mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut:
a.    Para penyuluh pertanian bukan tenaga-tenaga ahli pertanian.
b.    Hewan-hewan yang berguna bagi pertanian banyak yang dipotong.
c.    Kurangnya tenaga kerja petani karena banyak yang dijadikan romusha.
d.    Banyaknya penebangan hutan liar.
e.    Kewajiban menyerahkan hasil bumi.
2.     Bidang Sosial dan Budaya
Kepala–kepala desa dan camat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan itu sering menunjukkan untuk menjadi romusha dipilih orang–orang yang tidak mereka sukai atau dipilih orang yang ditakuti oleh masyarakat desa setempat. Berjuta- juta rakyat menderita kelaparan dan serba kekurangan. Dijalankannya program kerja tanam paksa romusha lebih menambah hancurnya perasaan ketentraman masyarakat jawa. Pengaruh buruk dari sistem romusha itu masih ditambah lagi oleh pelaksanaan setempat yang memungkinkan dapat dibelinya pengecualian atau kewajiban menjadi romusha. Tentu saja hal itu dapat dilakukan oleh golongan masyarakat kaya.
3.     Dampak bagi pekerja
Para tenaga kerja yang disebut romusha kebanyakan meninggal karena kekurangan makan, kelelahan, malaria dan terjangkit penyakit. Selain itu juga karena kerasnya pengawasan dan siksaan Jepang yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan. Dibarak-barak romusha tidak tersedia perawatan dan tenaga kesehatan. Seakan-akan telah menjadi rumus bahwa siapa yang tidak lagi kuat bekerja maka akan mati. Sebagai mana alam pemikiran jepang, bahwa bukan manusianya yang diperhitungkan melainkan tujuannya yaitu “menang perang”.dukung perang.

6.        Mewujudkan Cita – Cita Ekonomi Merdeka

Pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang, rakyat Indonesia sangat tersiksa terutama dalam hal ekonomi. Dalam aspek fisik yang nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situsi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir.
Hingga akhirnya para pemuda Indonesia ingin ekonomi Indonesia merdeka yaitu ekonomi yang berkedaulatan tanpa ada tekanan dari pihak manapun atau mewujudkan perekonomian tanpa pinjaman dari pihak manapun, dikelola secara mandiri dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Untuk mewujudkannya, rakyat Indonesia berfikir untuk memerdekakan negara Indonesia terlebih dahulu. Untuk memerdekakan Indonesia, para rakyat berjuang untuk mengusir penjajah. Pada tanggal 7 september 1944 Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dikemudian hari, apabila Indonesia membantu Jepang memenangkan perang.
Sebagai tindak lanjut janji tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945 Jendral Kumakichi Harada membentuk BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai). Seiring berjalannya BPUPKI pada tanggal 6 Agustus 1945 kota Hirosima dibom atom oleh sekutu. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan oleh pemerintah Jepang karena dianggap terlalu cepat mewujudkan kehendak Indonesia merdeka dan menolak adanya keterlibatan dari pemerintah Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian dibentuklah PPKI (Panitia persiapan kemerdekana Indonesia). PPKI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Pada 2 Agustus 1945 Ir. Soekarno beserta Moh. Hatta dan Dr. Rajiman Widyadiningrat berangkat ke dalat, vietnam bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kemerdekaan Indonesia.
Amerika Serikat kemudian membom atom kedua kota yang ada di Jepang, yakni Hirosmia dan Nagasaki pada tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945. Pemilihan kedua kota itu dikarenakan kedua kota tersebut merupakan pusat industri di Jepang. Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu dan berakhirnya juga masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Bangsa Indonesia memanfaatkan kondisi yang demikian itu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sebelum Sekutu datang, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di damping oleh Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian maka berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia, dan Indonesia muncul menjadi satu negara yang merdeka.
Dengan dikumandangkannya Teks Proklamasi, bukan berarti perjuangan bangsa Indonesia telah selesai. Proklamasi justru harus dipandang sebagai titik awal perjuangan untuk mengisi kemerdekaan guna mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa.
Pada masa awal kemerdekaan, bangsa Indonesia berupaya mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan menata berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Usaha-usaha tersebut terus berjalan seiring dengan proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

7.        Perekonomian di Indonesia Setiap Periode Pemerintahaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

A.        Permerintahan Orde Lama

Pada tahun tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi di indonesia sangat buruk ekonomi nasional boleh di katakan mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keungan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti tingkat inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500%. Semua ini di sebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah pendudukan jepang, perang dunia ke II, perang revolusi dan manajemen ekonomi makro yang buruk selama periode 1950-an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi.
Sektor formal/modern, seperti pertimbangan, distribusi, tranportasi, bank, dan pertanian komersial, yang memiliki konstribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau produk domestic bruto (PDB) di dominsai oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor.
Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih di kuasai oleh pengusaha asing yang relatif lebih padat kapital disbandingkan kegiatan kegiatan ekonomi yang di didominasi oleh pengusaha pribumi dan berlokasi di kota kota besar., seperti Jakarta-Surabaya keadaan ekonomi Indonesia terutama setelah di lakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di tanah air, termasuk perusahaan-perusahaan milik belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan dengan keadaan ekonomi pada masa penjajahan belanda, ditambah lagi dengan peningkatan laju inflasi yang tinggi pada dekate 1950-an. Pada masa pemerintahan belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang rendah dan stabil.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor faktor produksi, seperti orang orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/ketrampilan yang tinggi, dana untuk membangun infraskstruktur yang sangat di butuhkan oleh industri, teknologi dan kemampuan pemerintah untuk sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik.sejak kaninet pertama dibentuk setelah merdeka, pemenrintah Indonesia memberikan priotritas stabilitasi, pertumbuhan ekonomi, pemangunan industri, unifikasi dan rekontruksi, akan tetapi akibat keterbatasan faktor di atas dan masalah politik nasional pada masa itu akhirnya rekonstruksi ekonomi setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana.
Pada akhir bulan September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mecapai puncaknya karena terjadinya kudeta yang gagal dari partai komunis Indonesia (PKI) sejak peristiwa tersebut terjai perubahan politik yang drastis di dalam negeri , yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang di anut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis ( sistem yang tidak kapitalis sepenuhnya). sebenrnya sistem perekonomian indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem yang di landasi oleh prinsip prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi pancasila. Akan tetapi dalam praktek sehari-hari pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di Negara Negara industri maju yang Karen pelaksaan nya kurang baik mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air.

B.        Pemerintahan Orde Baru

Sejak bulan Maret 1966 indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Berbeda dengan pemerintahan orde lama, dalam era orde baru ini perhatian pemerintah lebih di tunjukan pada peningkatan kesajahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintah orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota perserikatan bangsa bangsa (PBB) dan lembaga lembaga dunia lainnya, seperti bank dunia dan dana moneter internasional (IMP).
Sebelum rencana pembangunan lewat repelita dimulai, pemerintah terlebih dahulu melakukan pemulihan stabilitas ekonomi,sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah menekan kembali tingkat inflasi, menurangi deficit keungan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi termasuk kegiatan ekspor. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun secara bertahap dengan target target yang jelas . menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan bank dunia, IMF dan ADB (bank poembangunan asia) di bentuk suatu kelompok yang di sebut inter goverement on Indonesia (IGGI) yang teridiri atas sejumlah Negara maju, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam waktu relatif pendek setelah melakukan perubahan sistem sistem politiknya sevara darstis dari yang pro menjadi anti komunis Indonesia mendapat bantuan dana dari pihak barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesajahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar,yang pada saat itu di anggapsebagai satu-satunya cara paling efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran. Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di pulau jawa karena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik di bandingkan di provinsi-provinsi lainya di luar pulau jawa.
Pada bulan april 1969 repelita I dimulai dengan penakan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti agroindustry. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada repelita I terpusat pada pembangunan pembangunan industri-industri yang dapat mengahsilkan devisa lewat ekspor dan subtititusi impor, industri-industri yang memproses bhan bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional., dan juga industri-industri dasar, seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas dan tekstil.
Dampak repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkatan makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata rata pertahun yang cukup tinggi jauh lebih baik dari pada selama orde lama.laju pertumbuhan PDB Indonesia selama periode 1960-1966 yang hanya tumbuh rata rata pertahun 1.90% dibandingkan selama periode 1966-1978 yang rata rata di atas 6%. Secara sektoral, dapat di lihat bahwa laju meningkat dratis di bandingkan sebelumnya.
Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama masa orde baru bila di lihat dari perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor pertanian dan sektor industri . kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan output nasional menurun sekitar hamper 54% pada tahun 1960 menjadi sekitar 26% pada tahun 1983. Berdasarkan harga konstan, tren perkembangannya juga sama, yakni menurun selama periode tersebut. Sedangkan persantase PDB yang berasal dari sektor manufaktur mengingkat setiap tahun dari sekitar 8% menjadi 12%.
Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan/ pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan suatu proses industrilisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia dari Negara agraris menjadi Negara semiindustri. Pembangunan ekonomi yang terjadi selama periode orde baru juga berdampak postif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat per kapita di Indonesia.
Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat setelah sejak paro pertama dekade 1980-an pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang di awali di sektor moneter/ perbankan dan di sektor rill dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut, sistem perekonomian Indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang tersentralisasi  ( pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar. Akan tetapi pada tingkat meso dan mikro pembangunan selama ini boleh di katakan tidak terlalu berhasil, bahkan dalam banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan, semakin besar bahkan, menjelang awal dekade 1990-an kesenjangan cenderung meningkat sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan di atas, khususnya pada repelita VI, orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan yang hanya pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan, pemerintah menjalankan berbagai macam program, terutrama di daerah pedesaan, seperti profram inpres desa tertinggal (IDT), program keluarga sejahtera dan program pembinaan usaha usaha kecil.
Kebijakan kebijakan eknomi selama orde baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia di landa suatu krisi ekonomi yang besar yang di awali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengan tahun 1997.

C.        Pemerintahan Era Reformasi

1)        Masa Kepemimpinan B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999)
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya.
Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian  Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a.    Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara.
b.    Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.
c.    Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00.
d.    Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri.
e.    Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
f.     Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat.
g.    Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2)        Masa Kepemimpinan K.H Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)
Pada tahun 1999 kondisi perekonomian indoensia mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper mecapai 5%. Selain pertumbuhan PDB. Laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah muali stabil.
Tetapi hubungan pemerintah Indonesia dengan IMF tidak begitu baik, terutama karena amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus terunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pecairan bantuannya kepada pemerintah indonesai, padahal roda perekonomian nasional saat itu sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu Indonesia terancam di nyatakan bangkrut oleh paris club (Negara Negara donor) karena defisit keungan yang terus membengkak , tidak mungkin mampu membyar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan dunia juga sempat mengancam akan menghentikan baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Memburuknya hubungan antara pemerintah dan IMF membuat pelaku pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cukup buruk. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s investors service mengkonfirmasi bertambah buruknya country risk Indonesia.meskipun beberapa indikator makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating seperti standar & poors menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,  restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth trend yang negatif.  Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.  Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. kedua,utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.

3)        Masa Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a.     Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.     Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.

4)        Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014)
a.         Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I 
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi. Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5 triliun.

b.         Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
1.  BI rate
2.  Nilai tukar
3.  Operasi moneter
4.  Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Hampir tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan China).
Krisis global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus level 4000.




8.         Contoh Kasus Sejarah Ekonomi Indonesia Beserta Analisisnya

A.        Contoh Kasus

Indonesian president Jokowi: A reform-minded leader
Joko Widodo, known as Jokowi, won the presidential election of Indonesia in 2014 by vowing to boost growth, attract investments and improve infrastructure, making him the first president outside of the political and military elite.
Having worked as a carpenter and later as a furniture exporter before he was elected as the mayor of Jakarta, Jokowi is portrayed as a reform-minded and liberal president. Since assuming the top post in late 2014, he has carried out numerous reforms to fuel growth, albeit with different degrees of success. Nonetheless, he has improved the country’s fiscal credibility, improved public infrastructure, and created a market-friendly investment environment.
Fuel subsidy cuts and tax amnesty programs boost Indonesia’s fiscal credibility
Indonesia has a long record of budget and current account deficits, and Jokowi’s efforts in cutting fuel subsidies and his tax amnesty program have helped to improve the government’s fiscal space, regarded as his greatest achievement in the first two years of his presidency.
During the first three months of his presidency, Jokowi ended the decades-long subsidies that created a huge burden on government spending. The World Bank along with other international institutions had advised Indonesia to abandon its energy subsidies. With the help of low commodity prices, Jokowi’s administration pushed through with the reform. The cuts freed up 19.8 percent of the 2015 state budget, with a total of $20 billion to fund public spending for infrastructure and education.
To deal with tax evasion and fund government spending, Jokowi’s administration also launched a tax amnesty program in July 2016, which will run until March 2017. The first two phases of the program saw the government collecting an extra 107 trillion rupiah ($8 billion) worth of tax revenue, almost 10 percent of the total tax revenue in 2016. 
Economic reforms improve ease of doing business in Indonesia
Indonesia is ranked among the worst countries to do business with according to the World Bank’s ranking, and Jokowi has made improving the index one of his top priorities. Between September 2015 and August 2016,  with over 200 business regulations, his government has introduced thirteen economic policy packages, which include reducing processing time for establishing a business, issuing permits, cutting administration costs, measures to support small and medium businesses, and fiscal incentives to attract investments. A series of reforms have generated waves of optimism that Indonesia is eager to integrate with the global economy.  Foreign investors responded favorably to the economic reforms and saw an increase in foreign investment in 2015 by 19.2 percent.
So far, the reforms have helped the country to improve its ease of doing business index from 106th to 91th place in 2017. But this is still very far behind Jokowi’s goal to move Indonesia’s position to 40th by the end of his first term.
Another significant part of Jokowi’s economic reform is the change of foreign ownership, which has helped to create more opportunities for foreign investment.  With the support of Jokowi, the revised foreign ownership rules, known as the negative investment list (DNI), which outline the industries and to what extent foreign investment is allowed, have reduced the restricted sectors and raised the foreign ownership limit for industries such as travel, pharmaceutical, and creative. While the liberalisation remains restrictive, it nonetheless demonstrates the government’s commitment to further liberalise the economy and foreign access. 
Public infrastructure took momentum under Jokowi’s presidency after a slow start
Improvement in infrastructure has been an icon of Jokowi’s administration. Suffering from a minority parliament that was dominated by opposition parties, Jokowi’s administration was slow in the execution of public spending for infrastructure projects. However, over the last 12 months, Jokowi has consolidated his political power and spending has finally picked up momentum. Last year, several big projects came underway, including a third terminal opening at Jakarta’s Soekarno–Hatta International Airport, the construction of a metro network system in the capital, and a high-speed railway connecting the capital to the country’s West Java province.
Infrastructure projects continue to face structural challenges such as land acquisition and weak cooperation between central and regional governments,  especially land acquisition issues that have at times raised concern for human rights. But Jokowi has showed determination to push for infrastructure development and has appeared at the groundbreaking of several big projects despite land acquisition processes still being underway. While this may be seen as controversial, it ultimately boosts investor confidence.
Political consolidation frees up Jokowi’s efforts for more policy focus
Improving fiscal credibility and speeding up infrastructure spending were the key achievements of Jokowi’s first two years, but these could not have been achieved without the success of his political manoeuvring through the complexity of the Indonesian political system.
Jokowi began his presidency with a parliament dominated by opposition parties, but within the last 12 months, he has gained support of other political parties, including the opposition party, Golkar, which is also the second largest political party in Indonesia. With the help of Golkar, Jokowi has nearly 70 percent of the parliament behind him, making the legislative process easier.
With a majority parliament, he was able to pass through the controversial tax amnesty bill and reshuffle his cabinet in July 2016, a second time within a year. His appointment of Sri Mylyani Indrawati, a World Bank managing director, as a finance minister is widely welcomed by investors as a sign of the government’s commitment to fiscal discipline.
Despite coming from the outside of the political circle, Jokowi has exhibited great political navigation skills. He is now in a much stronger position to carry out his reforms and it is looking increasingly likely that he will be re-elected in 2019 for a second term.
Looking ahead, logistics and infrastructure deficiencies will continue to prevent Indonesia from reaching its growth potential. Internal power struggles, especially within the ruling party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), and chairwoman and former president, Megawati Sukarnoputri pose the greatest challenges to Jokowi’s political position. External factors such as the competition between China and the US and the uncertainty of the global economy will weigh on Indonesia’s economic development.
But investors have reasons to be hopeful for Indonesia. Unlike many southeast Asian political leaders, who are either suffering from international criticisms, tangled in corruption scandals, or constrained by entrenched power struggles, Jokowi has the political power, and his reform-minded and pro-business attitude is a sign of optimism in the Indonesian market. Jokowi has set a target of 7 percent GDP growth by 2019. While this is a rather ambitious target with the World Bank predicting Indonesia to grow 5.3 percent in 2017, if Jokowi manages to secure a second term, it is very likely he will be able to achieve it after 2019.

B.        Analisis Kasus

Government Efforts To reduce the government budget deficit by revoking fuel subsidies is a precise step because energy subsidies weighed heavily on government spending in recent years. And also the subsidized fuel users are not exactly targeted. Many middle-highs enjoy this subsidized fuel that should be asked by the middle class down. So the decision to revoke the subsidies is quite appropriate. By no longer subsidizing the energy bada, the government can free up 19.8 percent of the 2015 state budget with a value of $ 20 billion and with these cost savings sufficient to finance public infrastructure and education.
And to avoid tax evasion and tax fraud the government issued a tax amnesty policy. The right policy because many tax-abandoned corporations use this opportunity to pay taxes without fines and tax amnesty programs in two phases of the government succeeded in collecting an extra $ 8 billion dollars from tax revenues. A considerable amount and almost 10 percent of total tax revenues.
Government policy to attract investors in value is good enough to introduce thirteen packages of economic policy will greatly facilitate investors to put investment in Indonesia. Investors do not take time and cost not too much. But the government must also think about the natural resources managed by the investment company because it can cause long-term environmental damage and sometimes the distribution of its results is not comparable with the nature damage caused by the company. The government should also ensure that foreign companies do not overwhelm the local market because it can be feared that domestic products can not compete with foreign products, thus losing the local market.

Improvement of infrastructure became one of the jokowi government icons. Encouraging the development of infrastructure can increase investor confidence to invest in Indonesia

DAFTAR PUSTAKA


Apridar. 2009. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Budi, Untung. 2012. Hukum dan Etika Bisnis. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Tulus T.H. Tambunan. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. BUKU I Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Badan Perencanaan Pembanguan Nasional
Isnaeni, Hendri dan Apid. 2008. Romusa Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta: Ombak
Sumarmo, AJ. 1991. Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Poesponegoro, Marwati Djoned. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka
Ramadhan, Syamsudin. 2006. Liberalisme.
Suwanto, dkk. 1997. Sejarah Nasional dan Umum. Semarang: Aneka Ilmu
http://www.academia.edu/10066141/Bubarnya_VOC_dan_praktik_Monopoli_di_Nusantara Diakses hari Sabtu, 11 Maret 2017 pada pukul 11.51.
http://www.markijar.com/2015/10/sistem-tanam-paksa-lengkap-penjelasan.html        Diakses hari Senin, 13 maret 2017 pada pukul 21:42
http://www.sarisejarah.com/2016/01/ringkasan-materi-sejarah-indonesia-masa.html  Diakses hari Rabu, 15 Maret 2017 pada pukul 13.00.
www.sejarah-negara.com/2014/04/masa-pemerintahan-presiden-bj-habibie.html     Diakses pada Kamis, 16 Maret pada pukul 00.50